Rabu, 26 Agustus 2009


PEMBELAJARAN BERWAWASAN MASYARAKAT

Pemikiran Tokoh Pembelajaran Berwawasan Kemasyarakatan

Manusia sebagai mahkluk yang mempunyai rasa keingintahuan tentang segala hal melahirkan proses pembelajaran. Sehingga seiring perkembangan menciptakan teori-teori dan pandangan tentang proses belajar mengajar dalam pembelajaran. Pandangan yang pertama adalah :

Pandangan kritik sosial dalam pembelajaran atau Teori Belajar Humanistik, yaitu proses belajar harus dimulai an ditujukan untuk kepentingan memanusiakan manusia itu sendiri. Pelopornya adalah Jurgen Habermas. Teori ini lebih bersifat abstrak atau bisa dikatakan mengkaji bidang filsafat. Teori ini banyak membicarakan tentang pembentukan diri. Belajar untuk mencapai apa yang dicita-citakan oleh manusia atau konsep untuk membentuk manusia yang dicita-citakan.

Dalam pelaksanaannya, teori humanistik ini antara lain tampak juga dalam pendekatan belajar yang dikemukakan oleh Ausbel (Rene: 1996). Pandangannya tentang belajar bermakna atau meaningful learning, mengatakan bahwa belajar merupakan asimilasi bermakna. Materi yang dipelajari diasimilasikan dan dihubungkan dengan pengetahuan yang telah dimiliki sebelumnya. Faktor motifasi dan pengalaman emosional sangat penting dalam peristiwa belajar. Banyak tokoh dalam aliran humanistik, diantaranya ialah

1. Kolb (Rene: 1996) yang terkenal dengan “Belajar Empat Tahap”,

2. Honey dan Mumford dengan pembagian macam-macam siswa,

3. Hubermas dengan “Tiga Macam Tipe Belajar, serta

4. Bloom dan Krathwahl yang terkenal dengan “Taksonomi Bloom.

1. Pandangan Kolb :

Menurut pandangan ini, belajar dibagi menjadi empat tahap :

  1. Tahap Pengalaman Kongkret
  2. Tahap Pengamatan Aktif dan Reflektif
  3. Tahap Konseptualitas
  4. Tahap Eksperimentasi Aktif

2. Pandangan Honey dan Mumford

Menggolongkan kelompok belajar menjadi empat macam :

  1. Kelompok Aktivis
  2. Kelompok Reflektor
  3. Kelompok Teoris
  4. Kelompok Pragmatis

Masing-masing kelompok mempunyai karateristik yang berbeda-beda.

3. Pandangan Hubermas

Pandangan ini berdasarkan pada interaksi dengan lingkungan, baik itu lingkungan alam maupun lingkungan sosial. Yaitu :

  1. Belajar Teknis
  2. Belajar Praktis
  3. Belajar Emansipatoris

4. Aplikasi Teori Belajar Humanistik dalam Kegiatan Pembelajaran.

Kegiatan belajar yang dirancang secara sistematis, tahap demi tahap untuk mencapai tujuan pembelajaran dengan memperhatikan segala aspek akan membuat belajar lebih bermakna sehingga menambah pengalaman belajar bagi para siswa. Langkah-langkah pembelajaran dengan pendekatan humanistic dapat digunakan sebagai acuan. Langkah-langkah tersebut yaitu :

  1. Menentukan tujuan pembelajaran
  2. Menentukan materi pembelajaran
  3. Mengidentifikasi kemampuan awal peserta didik
  4. Mengidentifikasi topik-topik pelajaran yang memungkinkan siswa secara aktif melibatkan diri dalam belajar
  5. Merancang fasilitas belajar seperti lingkungan dan media pembelajaran
  6. Membimbing siswa belajar secara aktif
  7. Membimbing siswa untuk memahami hakikat atau makna dari pengalaman belajar
  8. Membimbing siswa dalam membuat koseptualitas pengalaman belajarnya
  9. Membimbing siswa dalam mengaplikasikan konsep-konsep baru ke dalam situasi nyata
  10. Mengevaluasikan proses dan hasil belajar

Pandangan yang kedua adalah Pandangan Progresif dalam pembelajaran, yaitu peserta didik dipandang sebagai orang yang merupakan bagian dari masyarakat, sehingga proses pendidikan harus memiliki orientasi terhadap masyarakat.

Menurut Dewey, terdapat tiga tingkatan kegiatan yang biasa dipergunakan sekolah. Yaitu : Tingkatan pertama, untuk anak pada pendidikan pra sekolah; Tingkatan kedua, penggunakan bahan belajar yang bersumber dari lingkungan; Tingkatan ketiga, anak menemukan ide-ide atau gagasan, mengujinya dan menggunakan ide-ide atau gagasan tersebut untuk memecahkan persoalan yang sama. Pandangan progresif memilki cara pandang berbeda dengan pendidikan tradisional, dalam hal :

  1. Guru memiliki kendali dalam pembelajaran
  2. Hanya percaya bahwa buku sebagai satu-satunya sumber informasi
  3. Belajar yang pasif dan cenderung tidak faktual
  4. Memisahkan sekolah dengan masyarakat
  5. Menggunakan hukuman fisik dalam menegakkan disiplin

Pendidikan progresif mempunyai prinsip-prinsip sebagai berikut :

  1. Berikan kebebasan kepada anak untuk berkembang secara alamiah
  2. Minat dan pengalaman langsung merupakan rangsangan yang paling baik untuk belajar
  3. Guru memiliki peran sebagai nara sumber dan pembimbing kegiatan belajar
  4. Mengembangkan kerja sama antara sekolah dengan keluarga, dan
  5. Sekolah progresif harus menjadi laboratorium reformasi dan pengujian pendidikan.

Pandangan ketiga adalah Pandangan Sosiokultural Konstruktifis dalam Pendidikan, yaitu siswa secara terus menerus memeriksa informasi-informasi baru yang berlawanan dengan aturan lama dan merevisi aturan-aturan tersebut jika tidak sesuai lagi. Revolusi kontruktif memiliki akar yang kuat dalam sejarah pendidikan yang lahir dari gagasan Piaget dan Vygotsky yang menekankan perubahan kognitif hanya terjadi konsepsi-konsepsi yang telah dipahami sebelumnya diolah melalui suatu proses ketidakseimbangan dalam upaya memahami informasi-informasi baru. Terdapat empat prinsip kunci dari teori kontruktif modern, yaitu :

  1. Penekanannya dari hakikat sosial dari pembelajaran
  2. Ide bahwa belajar paling baik apabila konsep itu berada dalam zona perkembangannya mereka
  3. Adanya penekanan pada keduanya, yaitu hakikat social dari belajar dan zona perkembangan terdekat yang dinamakan dengan pemagangan kognitif.

Menurut teori konstrukstif, pengetahuan bukanlah kumpulan fakta dari suatu kenyataan yang sedang dipelajari, melainkan sebagai konstruksi kognitif seseorang terhadap obyek. Guru memiliki peran membantu agar proses pengonstruksian pengetahuan oleh siswa berjalan lancar. Artinya guru hanya membantu siswa untuk membentuk pengatahuannya sendiri.

Pandangan selanjutnya ialah Pandangan Ki Hadjar Dewantara Terhadap Pendidikan. Menurut beliau, pendidikan adalah upaya untuk memerdekakan manusia dalam arti bahwa menjadi manusia yang mandiri agar tidka tergantung kepada orang lain baik lahir maupun batin. Ada beberapa falsafah yang dikemukakan oleh Ki Hadjar Dewantara tentang pendidikan, yaitu :

1. Segala alat, usaha dan juga cara pendidikan harus sesuai dengan kodratnya

2. Kodratnya itu tersimpan dalam adat istiadat setiap masyarakat dengan berbagai kekhasan, yang kesemuanya itu bertujuan untuk mencapai hidup tertib dan damai

3. Dat istiadat sifatnya selalu berubah (dinamis)

4. Untuk mengetahui karateristik masyarakat saat ini diperlukan kajian mendalam tentang kehidupan masyarakat tersebut di masa lampau, sehingga dapat diprediksi kehidupan yang akan dating pada masyarakat tersebut

5. Perkembangan budaya masyarakat akan dipengaruhi oleh unsur-unsur lain, hal ini terjadi karena pergaulan antar bangsa.

Ruang Lingkup Kebudayaan Dalam Pendidikan

Menurut Tylor (1871) kebudayaan merupakan kompleks yang mencakup pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hokum, adapt istiadat, dan kemampuan-kemampuan serta kebiasaan yang didapatkan oleh manusia sebagai anggota masyarakat. J.J. Honningman membuat perbedaan atas tiga gejala kebudayaan, yaitu : Ideas, Activities dan Artifacts. Sedangkan Koentjaraningrat (1996) membedakan kebudayaan dengan empat wujud, yaitu : Artifact, Sistem tingkah laku dan tidakan berpola, Sistem gagasan, dan Sistem ideologis.

Unsur-unsur pokok kebudayaan dibagi 4, ini menurut Melville J. Herskovits, yaitu :

  1. Alat-alat teknologi
  2. Sistem ekonomi
  3. Keluarga, dan
  4. Kekuasaan politik.

Sedangkan menurut Malinowski, unsur-unsur pokok kebudayaan sebagai berikut :

  1. Sistem norma yang memungkinkan kerja sama antara para anggota masyarakat di dalam upaya menguasai alam sekelilingnya.
  2. Organisasi ekonomi
  3. Alat-alat dan lembaga atau petugas pendidikan (keluarga adalah lembaga pendidikan utama)
  4. Organisasi kekuatan

C. Kluckhohn (1953) menyebutkan unsur-unsur kebudayaan ini secara universal terdiri atas :

  1. Peralatan dan perlengkapan hidup manusia
  2. Mata pencaharian hidup dan sistem-sistem ekonomi
  3. Sistem kemasyrakatan
  4. Bahasa
  5. Kesenian
  6. Sistem pengetahuan, dan
  7. Religi.

Pendidikan memiliki peranan sangat penting dalam perkembangan bahkan matinya kebudayaan. Keluarga digunakan sebagai lembaga dalam mewariskan kebudayaan orang dewasa kepada anak-anaknya. Selain itu pada masyarakat modern, sekolah juga merupakan salah satu lembaga utama untuk mewariskan kebudayaan

Pembelajaran Berwawasan Kemasyarakatan

Masyarakat sebagai satu sistem sosial yang di dalamnya terdapat aspek struktural, kultural, dan proses-proses sosial. Pendidikan nasional sebagai bagian dari pendidikan umat manusia harus berpartisipasi untuk bersama-sama membangun masyarakat madani. Menurut Tilaar (2000), upaya yang dilakukan dalam rangka demokratisasi pendidikan, ialah :

1. Perluasan dan pemerataan kesempatan untuk memperoleh pendidikan

2. Pendidikan untuk semua

3. Pemberdayaan dan pendayagunaan berbagai institusi masyarakat

4. Pengakuan hak-hak masyarakat termasuk pendidikan

5. Kerja sama dengan dunia usaha dan industri

Teori-teori pembelajaran yang menggunakan konsep pendidikan berbasis masyarakat, maka pembelajaran berwawasan kemasyarakatan didasarkan pada hal-hal berikut, yaitu :

  1. Kebermaknaan dan kebermanfaatan bagi peserta didik
  2. Pemanfaatan lingkungan dalam pembelajaran
  3. Materi pembelajaran terintegrasi dengan kehidupan sehari-hari dengan peserta didik
  4. Masalah yang diangkat dalam pembelajaran ada kesesuaian dengan kebutuhan peserta didik
  5. Menekankan pada pembelajaran partisipatif yang berpusat pada peserta didik
  6. Menumbuhkan kerja sama di antara peserta didik
  7. Menumbuhkan kemandirian

Prinsip-prinsip pembelajaran berwawasan kemasyarakatan sebagai berikut :

  1. Determinasi diri
  2. Membantu dirinya sendiri
  3. Mengembangkan kepemimpinan
  4. Lokalisasi
  5. Pelayanan terpadu
  6. Menerima perbedaan
  7. Belajar terus menerus

Senin, 24 Agustus 2009

MENUJU PENDIDIKAN UNTUK SEMUA DAN SEMUA UNTUK PENDIDIKAN

Pendidikan merupakan salah satu upaya untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia (SDM). Undang Undang Dasar 1945 menjamin hak setiap warga negara Indonesia untuk mendapatkan pengajaran. Perumusan yang demikian ini tampaknya menjadi keyakinan para pendiri Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) (the founding fathers) bahwa melalui pendidikanlah bangsa Indonesia akan dapat menjadi bangsa yang cerdas. Bangsa yang cerdas diyakini akan menghasilkan bangsa yang mampu berkompetisi dengan bangsa-bangsa lain.

Indonesia merupakan salah satu negara yang menandatangani deklarasi “Education for All”. Berkaitan dengan deklarasi ini dan sekaligus juga sebagai wujud keseriusan Indonesia mensukseskannya, maka Indonesia telah mencanangkan Wajib Belajar 6 Tahun pada tahun 1984 dan 10 berikutnya, yaitu pada tahun 1994, Indonesia mencanangkan Wajib Belajar 9 Tahun. Melalui Wajib Belajar 6 Tahun diharapkan anak-anak usia Sekolah Dasar (7-12 tahun) dapat menikmati layanan pendidikan Sekolah Dasar (SD). Artinya, anak-anak usia SD dapat menyelesaikan pendidikan SD. Demikian juga halnya melalui pencanangan Wajib Belajar 9 Tahun diharapkan anak-anak usia SMP (13-15 tahun) dapat menyelesaikan pendidikan SMP.

Berbagai program yang diarahkan untuk mendukung keberhasilan pelaksanaan Wajib Belajar 6 Tahun dan 9 Tahun telah dilaksanakan secara terencana dan bertahap. Berkaitan dengan hal ini, satu hal yang menjadi keprihatinan di berbagai negara adalah mengenai anak-anak yang karena satu dan lain hal terpaksa tidak dapat menyelesaikan pendidikan SD sehingga mereka ini menjadi warga negara yang buta aksara. Demikian juga dengan anak-anak yang terpaksa tidak dapat menyelesaikan pendidikan SMP, maka mereka akan cenderung masuk ke dalam kelompok tenaga kerja kasar.

Hakekat dari “Pendidikan untuk Semua dan Semua untuk Pendidikan” adalah mengupayakan agar setiap warga negara dapat memenuhi haknya, yaitu setidak-tidaknya untuk mendapatkan layanan pendidikan dasar (Wajib Belajar 9 Tahun). Untuk dapat mewujudkan “Pendidikan untuk Semua dan Semua untuk Pendidikan”, semua komponen bangsa, baik pemerintah, swasta, lembaga-lembaga sosial kemasyarakatan, maupun warga negara secara individual, secara bersama-sama atau sendiri-sendiri, berkomitmen untuk berpartisipasi aktif dalam menyukseskan “Pendidikan untuk Semua dan Semua untuk Pendidikan” sesuai dengan potensi dan kapasitas masing-masing.

Sebagai unit organisasi sosial terkecil, orang tua dari setiap keluarga tergugah dan terpanggil untuk setidak-tidaknya membimbing dan membelajarkan anak-anaknya, baik melalui pendidikan formal persekolahan, lembaga pendidikan non-formal, maupun melalui lembaga pendidikan informal. Mengirimkan anak untuk belajar melalui lembaga pendidikan sekolah sudah jelas yaitu mulai dari taman Kanak-kanak (TK) sampai dengan pendidikan tinggi.

Apabila karena satu dan lain hal, seorang anak tidak memungkinkan untuk mengikuti pendidikan persekolahan, maka orang tua dapat mengirimkan anaknya untuk mengikuti kegiatan pembelajaran pada pendidikan non-formal, seperti Paket A setara SD, Paket B setara SMP, dan Paket C setara SMA. Seandainya seorang anak tidak memungkinkan juga mengikuti pendidikan melalui pendidikan formal dan non-formal, maka masih ada model pendidikan alternatif yang dapat ditempuh, yaitu “Sekolah di Rumah” (Home Schooling). Dalam kaitan ini, orang tua dapat mengidentifikasi lembaga-lembaga sosial kemasyarakatan atau unit-unit pendidikan prakarsa anggota masyarakat yang menyelengggarakan “Sekolah di Rumah” dan kemudian mengirimkan anaknya untuk mengikuti pendidikan di lembaga atau unit pendidikan tersebut. Atau, orang tua sendiri dengan latar belakang pendidikan dan pengetahuan yang dimiliki, dapat membimbing dan membelajarkan anak-anaknya sehingga pada akhirnya sang anak dapat mengikuti ujian persamaan (Upers), baik pada satuan pendidikan SD, SMP atau SMA.

Pada satuan lembaga, baik yang sepenuhnya bernafaskan pendidikan maupun yang tidak, hendaknya memiliki komitmen yang sama yaitu untuk membelajarkan anak-anak dari orang tua yang bekerja pada masing-masing lembaga. Bentuk komitmen dari lembaga tidak harus dalam bentuk penyelenggaraan pendidikan tetapi dapat saja dalam bentuk beasiswa. Bagi lembaga industri atau perusahaan, bentuk komitmennya dapat saja dalam bentuk pemberian beasiswa atau berfungsi sebagai orang tua asuh setidak-tidaknya bagi anak-anak yang orang tuanya bekerja di industri atau perusahaan.

Apabila semua komponen bangsa bergerak serempak bagaikan sebuah orkestra, masing-masing komponen bangsa memberikan yang terbaik yang ada padanya demi pencerdasan kehidupan bangsa, maka tidak akan diragukan lagi bahwa orkestra akan menghasilkan/ memberikan lagu yang terbaik (the best). Analoginya di bidang pendidikan, bahwa melalui gerakan masyarakat, baik secara bersama-sama maupun sendiri-sendiri menerapkan “Pendidikan untuk Semua dan Semua untuk Pendidikan”, maka penuntasan wajib belajar 6 tahun dan 9 tahun akan dapat lebih cepat tercapai.

Seiring dengan rencana alokasi anggaran untuk sektor pendidikan pada APBN Tahun 2009 sebesar 20%, tentunya diharapkan akan dapat lebih mempercepat penuntasan Wajib Belajar 6 dan 9 Tahun serta terbuka kemungkinan untuk mempersiapkan pencanangan Wajib Belajar 12 Tahun. Dengan menjadikan pendidikan sebagai gerakan masyarakat dan ditunjang oleh kemajuan teknologi informasi dan komunikasi serta komitmen untuk mewujudkan “Pendidikan untuk Semua dan Semua untuk Pendidikan”, maka dalam beberapa tahun ke depan diharapkan hasil atau dampaknya dalam bentuk keunggulan kompetetif akan dirasakan secara nasional dan juga diapresiasi secara regional/internasional.

Minggu, 23 Agustus 2009

PERKEMBANGAN SOCIAL STUDIES


Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial atau dalam bahasa asing disebut Social Studies berkembang efektif mulai tahun 1960-an lewat gerakan The Now Social Studies. Dalam perkembangan sebelumnya Social Studies dinilai tidak efektif dalam mengajarkan substansi dan pengaruh perubahan siswa. Oleh karena itu para ilmuwan yaitu sejarawan dan ahli-ahli ilmu sosial berstu padu bergerak meningkatkan Social Studies kepada taraf higher level of intellectual purcuit (Barr, dkk, 1977’42) yakni mempelajari ilmu sosial secara mendasar, maka dari hal tersebut dimulailah era modus pembelajaran Social Studies Education.

Pada akhir 1960-an, tercatat adanya perubahan dari orientasi pada disiplin akademik yang terpisah-pisah ke dalam suatu upaya untuk mencari hubungan interdisipliner. Dalam hal ini The Social Studies Curriculum Center at Syracuse“ mengidentifikasi 34 konsep dasar yang digali dari sejumlah ilmu sosial yang perlu diajarkan di sekolah.

Pada dasawarsa 1970-an, terjadi pertumbuhan Social Studies serupa dengan perkembangan sebelumnya denganhasilnya hampir semua proyek kurikulum menitikberatkan pada inquiry proses, decision making, value question dan student oriented problem. Akan tetapi para ahli menyimpulkan ternyata hasil studi mengenai kurikulum dan pembelajaran Social Studies belum banyak perubahan di sekolah. Perkembangan Social Studies tersebut tadi dicatat oleh Barr dkk.

Perkembangan Social Studies yang menjadikannya suatu bidang kajian tersebut melukiskan Social Studies pada dunia pendidikan telah menjadi dasar ontologi dari suatu sistem pe4ngetahuan yang terpadu, yang secara epistemologis telah mengarungi perjalanan pemikiran dalam kurun waktu 60 tahun lebih yang dimotori dan diwadahi oleh NCSS sejak tahun 1935. Di Indonesia, Social Studies atau yang di sebut Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) menjadi suatu konsep pembelajaran IPS dan banyak dipengatuhi oleh pemikiran Social Studies di Amerika Serikat yang dianggap sebagai salah satu negara yang memiliki pengalaman dan reputasi akademis dalam bidang tersebut. Perkembangan pemikiran mengenai pendidikan IPS di Indonesia ditelusuri dari alurperubahan kurikulum IPS dalam dunia persekolahan yang dikaitkan dengan konten pertemuan ilmiah dan penelitian yang relevan dalam bidang itu, yang secara sporadic dapat dijangkau oleh penulis. Konsep IPS untuk pertama kalinya masuk ke dalam dunia persekolahan terjadi pada tahun 1972 – 1973, yakni dalam Kurikulum Proyek Perintis Sekolah Pembangunan (PPSP) IKIP Bandung. Dalam Kurikulum SD 8 tahun PPSP digunakan istilah “Pendidikan Kewargaan Negara/Studi Sosial” sebagai mata pelajaran sosial terpadu. Dalam Kurikulum tersebut digunakan istilah Pendidikan Kewargaan Negara yang didalamnya mencakup Sejarah Indonesia, Ilmu Bumi Indonesia, dan Civics yang diartikan sebagai Pengetahuan Kewargaan Negara.

Sosiologi yang merupakan bagian dari Social Studies atau pengetahuan sosial adalah bidang ilmu yang membahas konsep sosial, yaitu tentang :

1. Perilaku sosial

2. Tindakan sosial dan

3. Interaksi sosial

Ketiga konsep tersebut merupakan perwujudan dari manusia sebagai makhluk sosial dalam melakukan hubungan dengan sesamanya.

Perilaku sosial adalah pola-pola tindakan yang merupakan perwujudan kepribadian untuk melakukan hubungan atau sosialisasi dengan sekelilingnya. Artinya manusia merupakan makhluk sosial yang di tuntut untuk melakukan hubunan atau interaksi dengan masyarakat sekitar untuk melangsungkan kehidupannya. Karena manusia pada dasarnya tidak dapat hidup sendiri sehingga perlu melakukan hubungan dengan orang lain atau masyarakat sekitarnya dalam memenuhi segala kebutuhan lahir maupun bathin. Dari perilaku sosial ini maka melahirkan suatu aturan atau norma yang mengatur tata cara kehidupan bermasyarakat demi tercapainya kedamaian dalam melakukan interaksi di masyarakat.

Sedangkan tindakan sosial adalah tindakan individu yang berorientasi terhadap arti bagi dirinya yang diarahkan kepada orang lain. Terdapat lima ciri pokok tindakan sosial, yaitu :

1. Tindakan yang memiliki makna subyektif

2. Tindakan nyata yang bersifat membatin sepenuhnya dan bersifat subyektif

3. Tindakan yang berpengaruh positif

4. Tidakan sosial yang selalu diarahkan pada orang lain untuk mendapat respon

5. Tindakan yang merupakan respon terhadap perilaku orang lain

Jika dilihat dari tingkat kemudahan untuk memahaminya, tindakan sosial dibedakan menjadi empat tipe, yaitu :

1. Rasionalitas instrumental (Zwerk Rational)

2. Rasionalitas yang berorientasi (Werkrational Action)

3. Tindakan afektif (Affective Action)

4. Tindakan tradisional (Traditional Action)

Konsep dasar sosial yang ketiga ialah interaksi sosial yang merupakan syarat utama dalam kehidupan sosial. Tanpa adanya interaksi sosial tidak akan terjadi kehidupan bersama-sama. Interaksi sosial dapat terjadi apabila terdapat tindakan atau perilaku sosial yang ditujukan pada orang lain sehingga muncul reaksi atau adanya aksi-reaksi antar dua orang atau lebih. Pendek kata terjadi kontak sosial atau komunikasi. Kontak sosial ini bisa berupa kontak langsung maupun tidak langsung. Dengan demikian, interaksi sosial dapat berlangsung antara :

1. individu dengan individu

2. individu dengan kelompok atau sebaliknya

3. kelompok dengan kelompok.

Suatu proses interaksi sosial dapat berlangsung berdasarkan atas beberapa faktor yang bergerak sendiri-sendiri secara terpisah namun bersamaan melahirkan suatu interaksi. Faktor tersebut ialah :

1. imitasi

2. Sugesti

3. Identifikasi

4. Simpati

Dalam kehidupam sosial terdapat beberapa bentuk interaksi sosial yang bersifat asosiatif dan disosiatif. Bersifat asosiatif yaitu kerja sama(co-operation) dan akomodasi (akomodation) sedangkan bersifat disosiatif adalah persaingan (competition), kontravensi dan pertentangan atau pertikaian (conflict).

Kerja sama (cooperation) disebut juga koperasi, yang terbentuk karena adanya kesadaran bersama akan suatu kepentingan yang dirasakan sehingga melahirkan suatu kesepakatan untuk bekerja sama untuk mencapai tujuan atau kepentingan. Sesuai dengan pelaksanaanya kerja sama dapat diklasifikasikan dalam lima bentuk, yaitu :

1. kerukunan yang mencakup gotong royong dan tolong menolong

2. bargaining atau perjanjian mengenai pertukaran barang dan jasa antar dua organisasi atau lebih.

3. ko-optasi (co-optation), yaitu proses penerimaan unsur-unsur baru dalam kepemimpinan atau pelaksanaan politik dalam suatu organisasi sebagai salah satu cara untuk menghindari terjadinya kegoncangan dalam stabilitas yang bersangkutan.

4. koalisi (coalition), yaitu kombinasi antara dua organisasi atau lebih yang mempunyai tujuan-tujuan yang sama.

5. joint-venture, yaitu bentuk kerja sama yang bergerak dalam pengusahaan proyek-proyek tertentu dengan keuntungan berdasarkan kesepakatan.

Sedangkan proses kerja sama dapat dibedakan menjadi empat macam, yaitu :

1. kerja sama spontan

2. kerja sama langsung

3. kerja sama kontrak

4. kerja sama tradisional.

Akomodasi merupakan upaya untuk memperlancar interaksi sosial dengan mengurangi pertentangan, konflik dengan menggalang kerja sama dan pencampuran kebudayaan yang terdapat dalam kehidupan masyarakat.

Persaingan merupakan bentuk interaksi sosial yang bersifat disosiatif dan mungkin juga asosiatif. Kedua tipe persaingan tersebut menghasilkan bentuk sebagai berikut :

1. persaingan ekonomi

2. persaingan kebudayaan

3. persaingan kedudukan, dan

4. persaingan ras.

Hal-hal tersebut diatas terjadi dalam suatu kehidupan masyarakat, sedangkan kehidupan bermasyarakat ini bisa mengalami perubahan-perubahan berdasarkan dimensi waktu dan unsur. Secara umum terdapat beberapa faktor yang mendasari terjadinya perubahan sosial yaitu faktor yang bersumber dari dalam (faktor internal) dan faktor yang bersumber dari luar (faktor eksternal) dari masyarakat.

Faktor internal disebabkan beberapa hal diantaranya ialah :

1. perubahan komposisi penduduk

2. perubahan baru

3. konflik sosial

4. pemberontakan

Faktor eksternal disebabkan hal-hal diantaranya ialah :

1. bencana alam

2. peperangan

3. pengaruh kebudayaan masyarakat lain.

Perubahan sosial dapat dibedakan ke dalam beberapa bentuk, yaitu :

  1. perubahan sosial yang lambat dan perubahan sosial yang cepat
  2. perubahan kecil dan perubahan besar
  3. perubahan yang direncanakan dan tidak direncanakan.

Template by : kendhin x-template.blogspot.com